NPM : 11213415
Kelas : 2EA10
Makalah Kasus Pelanggaran HAM di
Indonesia “Marsinah”
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Hak
Asasi Manusia merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap
manusia sejak manusia masih dalam kandungan sampai akhir kematiannya
sebagai anugrah Tuhan. Di dalamnya tidak jarang menimbulkan
gesekan-gesekan antar individu dalam upaya pemenuhan HAM pada dirinya sendiri.
Hal inilah yang kemudian bisa memunculkan pelanggaran HAM seorang individu
terhadap individu lain, kelompok terhadap individu, ataupun sebaliknya.
Memperbincangkan
marutnya dinamika hak asasi manusia, khususnya perburuhan selama dekade
terakhir nampaknya cukup mengingatkan pada nama ini: Marsinah. Terdapat alasan pasti
untuk menghadirkan kembali ingatan tentang orang tersebut: misteri kematiannya
yang tidak pernah terungkap hingga sekarang. Tidak pernah diketahui secara
pasti oleh siapa ia dianiaya dan dibunuh, kapan dan di mana ia mati pun tak
dapat diketahui dengan jelas, apakah pada Rabu malam 5 Mei 1993 atau beberapa
hari sesudahnya. Liputan pers, pencarian fakta, penyidikan polisi, pengadilan
sekalipun nyatanya belum mampu mengungkap kasusnya secara tuntas dan memuaskan.
Kendati hakim telah memvonis siapa yang bersalah dan dihukum, orang tak percaya
begitu saja; sementara kunci kematiannya tetap gelap sampai kini, lebih dari
satu dasawarsa berselang.
Barangkali
memang bukan fakta-fakta pembunuhan itu yang menjadi penting di sini, melainkan
jalinan citra yang lantas tersaji melalui serangkaian representasi media yang
rumit. Para pembunuh mengesankan Marsinah diperkosa. Segenap aktivis
menyanjungnya sebagai teladan kaum pejuang buruh. Para aparat pusat dibantu
aparat setempat konon merekayasa penyidikan sekaligus membuat skenario
pengadilan, termasuk dilibatkannya tersangka palsu dalam rangkaian pengungkapan
kasus tersebut. Tak ketinggalan, para aktivis hak asasi manusia
menganugerahi Yap Thiam Hien Award bagi kegigihannya.
Termasuk para seniman yang mengabadikannya dalam monumen, patung, lukisan,
panggaung teater dan seni rupa instalasi; para feminis mengagungkannya sebagai
korban kekerasan terhadap perempuan dan khalayak awam yang prihatin dan
simpati memberi sumbangan bagi keluarganya.
Pada
aras citra inilah tulisan ini kemudian mengambil pijakan. Mungkin orang tak
akan banyak tahu siapa Marsinah seandainya ia tidak dibunuh dan kasusnya tidak
gencar diberitakan oleh media massa. Ia tidak hanya dianggap mewakili “nasib
malang” jutaan buruh perempuan yang menggantungkan masa depannya pada
pabrik-pabrik padat berupah rendah, berkondisi kerja buruk sekaligus tak
terlindungi hukum. Lebih dari itu, mediasi dan artikulasi pembunuhannya
menyediakan arena diskursif bagi pertarungan berbagai kepentingan dan hubungan
kuasa: buruh-buruh, pengusaha, serikat buruh, lembaga swadaya masyarakat,
birokrasi militer, kepolisian dan sistem peradilan.
Setelah
reformasi tahun 1998, Indonesia mulai mengalami kemajuan dalam bidang penegakan
HAM bagi seluruh warganya. Instrumen-instrumen HAM pun didirikan sebagai upaya
menunjang komitmen penegakan HAM yang lebih optimal. Namun seiring dengan
kemajuan ini, pelanggaran HAM kemudian juga sering terjadi di sekitar kita
karena semakin egoisnya manusia dalam pemenuhan hak masing-masing. Untuk itulah
kami menyusun makalah yang berjudul “Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di
Indonesia – Marsinah”, untuk memberikan informasi mengenai apa itu pelanggaran
HAM diikuti seluk beluk kasus Marsinah.
- Rumusan Masalah
Sesuai
dengan judul makalah ini “Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia”,
maka masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1.2.1 Apa pengertian
pelanggaran HAM ?
1.2.2 Apa
saja macam-macam pelanggaran HAM?
1.2.3 Apa
contoh pelanggaran HAM di Indonesia?
1.2.4
Bagaimana upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM?
- Tujuan
Tujuan
kami mengangkat materi ini tentang kasus hak asasi manusia di Indonesia yaitu :
1.3.1 Untuk
mengetahui pengertian pelanggaran HAM.
1.3.2
Untuk mengetahui macam-macam pelanggaran HAM.
1.3.3
Untuk mengetahui contoh pelanggaran HAM di Indonesia.
1.3.4 Mengetahui
lebih dalam mengenai terjadinya kasus Marsinah.
1.3.5 Upaya
penyelesaian pelanggaran HAM khususnya kasus Marsinah.
- Manfaat
Hasil
pembelajaran ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi penulis dan pembaca.
1.4.1 Manfaat
bagi penulis, pengkajian ini memberikan pengetahuan tentang pelanggaran hak
asasi manusia di Indonesia.
1.4.2 Manfaat
dari pembaca, pengkajian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian atau
referensi tambahan bagi ilmu kenegaraan serta memperkaya informasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Menurut
Pasal 1 Angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi
manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak
asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan
tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum
yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Menurut
UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara baik disengaja atau
kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau
mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum
yang berlaku.
Dengan
demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik
dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya
terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan
rasional yang menjadi pijakannya.
2.2
Klasifikasi Pelanggaran HAM di Indonesia
Pelanggaran
HAM dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :
- Kasus
pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
- Pembunuhan massal (genosida)
Genosida
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama dengan
cara melakukan tindakan kekerasan. (UUD No.26/2000 Tentang Pengadilan
HAM).
- Kejahatan Kemanusiaan
Kejahatan
kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berupa serangan yang
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil seperti pengusiran penduduk
secara paksa, pembunuhan,penyiksaan, perbudakkan dll.
- Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
- Pemukulan
- Penganiayaan
- Pencemaran nama baik
- Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
- Menghilangkan nyawa orang lain
2.3
Contoh Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
Kasus
Marsinah (1993)
Kasus
tersebut berawal dari unjuk rasa buruh yang dipicu surat edaran gubernur
setempat mengenai penaikan UMR. Namun PT. CPS, perusahaan tempat Marsinah
bekerja memilih bergeming. Kondisi ini memicu geram para buruh.
Senin
3 Mei 1993, sebagian besar karyawan PT. CPS berunjuk rasa dengan mogok kerja
hingga esok hari. Ternyata menjelang selasa siang, manajemen perusahaan dan
pekerja berdialog dan menyepakati perjanjian. Intinya mengenai pengabulan
permintaan karyawan dengan membayar upah sesuai UMR. Sampai di sini sepertinya
permasalahan antara perusahaan dan pekerja telah beres.
Namun
esoknya 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik
Militer (Kodim) Sidoarjo untuk diminta mengundurkan diri dari CPS. Marsinah
marah dan tidak terima, ia berjanji akan menyelesaikan persoalan tersebut ke
pengadilan. Beberapa hari kemudian, Marsinah dikabarkan tewas secara tidak
wajar. Mayat Marsinah ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan,
Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Posisi mayat ditemukan tergeletak dalam posisi
melintang dengan kondisi sekujur tubuh penuh luka memar bekas pukulan benda
keras, kedua pergelangannya lecet-lecet, tulang panggul hancur karena pukulan
benda keras berkali-kali, pada sela-sela paha terdapat bercak-bercak darah,
diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul dan pada bagian yang sama
menempel kain putih yang berlumuran darah.
Secara
resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi ketika
menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian ontrol CPS) menjemput Marsinah dengan
motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi
dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya.
Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di
pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya
yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding
ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses
selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan
para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI
tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga
muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.
Kasus
kematian Marsinah menjadi misteri selama bertahun-tahun hingga akhirnya
kasusnya kadaluarsa tepat tahun ini, tahun 2014. Mereka yang tertuduh dan
dijadikan kambing hitam dalam kasus ini pun akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah
Agung. Di zaman Orde Baru, atas nama stabilitas keamanan dan politik, Negara
telah berubah wujud menjadi sosok yang menyeramkan, siap menculik,
mengintimidasi dan bahkan menghilangkan secara paksa siapa saja yang berani
berteriak atas nama kebebasan menyuarakan aspirasi.
2.4
Faktor Penyebab Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Faktor
penyebab dari kasus Marsinah yang pertama adalah perusahaan CPS yang tidak
mengikuti himbauan gubernur setempat untuk menaikkan UMR. Walaupun kebijakan
kenaikan UMR tersebut sudah dikeluarkan, CPS tetap bergeming. Kondisi ini memicu
geram para pekerjanya sehingga menyebabkan mereka melakukan aksi unjuk rasa dan
mogok kerja.
Lalu
faktor penyebab kedua, adalah manajemen perusahaan CPS yang telah menyepakati
perjanjian penaikan UMR namun rupanya diikuti dengan memberhentikan 13 pekerjanya
dengan cara mencari-cari kesalahan pasca tuntutan kenaikan UMR. Hal ini
menjadikan Marsinah penuh amarah.
Fakor
yang lain dapat diuraikan sebagai berikut :
Dari
segi ekonomi :
- Terjadi kredit macet
- Jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar
- Banyak perusahaan yang tidak dapat membayar hutangnya
Dari
segi politik :
- Pemimpian saat itu telah kehilangan kepercayaan dari rakyatnya
- Terjadi kekacauan dan kerusuhan di mana-mana
- Terjadi perpecahan dalam kubu kabinet Soeharto
- Solusi Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Terkait
kasus Marsinah, solusi dari pemerintah sendiri, pemerintah semestinya segera
mengusut tuntas kasus pembunuhan Marsinah sampai selesai hingga mendapatkan
hasil yang nyata, dan menegakkan tiang keadilan dan ketegasan dalam kerapuhan
hukum di Indonesia sehingga rakyat dapat kembali mempercayai peranan dari
pemerintah dan aparat penegak hukum dalam penegakan HAM di Indonesia.
Sementara
solusi dari hasil rangkuman kami sekelompok, adalah adanya kepastian hukum
dalam menjamin keamanan setiap orang. Setiap orang perlu menghargai hak-haknya
sendiri dan hak orang lain.
2.6 Upaya Pemajuan Hak Asasi Manusia
di Indonesia
1)
Periode tahun 1945 – 1950 Di periode ini, pemikiran HAM masih menekankan pada
hak merdeka, hak bebas berserikat, serta hak bebas menyampaikan pendapat.
Pemikiran HAM telah mendapat pengakuan secara formal karena telah memperoleh
pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara, yaitu UUD 1945. Komitmen
terhadap HAM pada periode awal kerdekaan ditunjullam dalam Maklumat Pemerintah
tanggal 1 November 1945. Di periode ini (1945-1950) memberikan keleluasaan
terhadap rakyat untuk mendirikan partai politik sebagaimana yang telah tertera
pada Maklumat Pemerintah pada tanggal 3 November 1945 :
- Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena segala aliran paham yang ada dalam masyarakat dapat dipimpin ke jalan yang teratur dengan adanya partai-partai tersebut.
- Pemerintah berharap partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsukannya pemilihan anggota badan perwakilan rakyat pada Januari 1946. Hal ini berkaitan dengan adanya perubahan yang signifikan terhadap sistem pemerintahan dari presidensial menjadi sistem parlementer.
2)
Periode tahun 1950 – 1959 Periode ini dalam perjalanan, Indonesia dikenal dengan
sebutan “Periode Demokrasi Parlementer” dimana pemikiran HAM pada periode ini
mendapatkan momentum yang membanggakan. Indikator tentang pemikiran HAM pada
periode ini mengalami “pasang”, menurut ahli hukum tata negara memiliki 5 aspek
:
- Semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya masing-masing.
- Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi, betul- betul menikmati kebebasannya.
- Pemilu sebagai pilar lain dari demokrasi harus bertanggung jawab dalam suasana kebebasan, fair (adil) dan demokratis.
- Parlemen/dewan perwakilan rakyat sebagai wakil rakyat semakin efektif mengontrol terhadapt kinerja eksekutif.
- Wacana & pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif, sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
3)
Periode tahun 1959 – 1966 Pada periode ini, sistem pemerintahan Indonesia adala
sistem demokrasi terpimpin diamana kekuasaan terpusat dan berada di tangan
presiden. Dalam kaitannya dengan HAM yaitu telah terjadinya sikap restriktif
(pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga
negara.
4)
Periode tahun 1966 – 1998 Pada awal masa periode ini telah diadakan beberapa
seminar tentang HAM. Salah satu seminar dilaksanakan pada tahun 1967 yang
merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, Komisi,
dan pengadilan HAM di wilayah Asia. Pada tahun 1968 diadakan Seminar Hukum
Nasional II yang merekomendasikan perlunya hak uji materiil guna melindungi
HAM. Fungsi dari hak uji materiil itu sendiri dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS
XIV/MPRS/1996. Namun, pada tahun 1970-an sampai akhir 1980-an, HAM mengalami
kemunduran. Dalam hal ini, upaya masyarakat dilakukan melalui pembentukan
jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi
seperti kasus Tanjung Priok, kasus Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, dan lain
sebagainya. Menjelang periode 1990-an, upaya masyarakat nampaknya memperoleh
hasil yang mengesankan karena terjadi pergeseran strategi pemerintahan, dari
Represif dan Defensif menjadi Akomodatif. Salah sau sikap akomodatif pemerintah
terhadap tuntutan penegakan HAM yaitu dibentuknya KOMNAS HAM berdasarkan KEPRES
Nomor 50 tahun 1993 pada tanggal 7 Juni 1993, dimana KOMNAS HAM memiliki tugas:
- Memantau & menyelidiki pelaksanaan HAM & memberi saran serta pendapat kepada pemerintah perihal HAM.
- Membantu pengembangan kondisi-kondisi yang kodusif bagi pelaksanaan HAM sesuai pancasila dan UUD 1945 (termasuk hasil amandemen UUD NKRI 1945), Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM dan deklarasi atau perundang-undangan lainnya yang terkait dengan penegakan HAM.
5)
Periode tahun 1998 – sekarang Pada saat ini dilakukan pengkajian terhadap
beberapa kebijakan pemerintah pada masa orde baru yang berlawanan dnegan
pemajuan dan perlindungan HAM. Kemudian, dilakukan penyusunan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan
ketatanegaraan dan kemasyarakatan di indonesia, serta pengkajian dan ratifikasi
terhadap instrumen HAM internasional semakin ditingkatkan. Strategi pada periode
ini dilakukan melalui 2 tahap, yaitu:
- Tahap status penentuan (prescriptive Status) Pada tahap ini telah ditetapkan beberapa ketentuan perundang-undangan tentang HAM, seperti UUD 1945, TAP MPR, UU, dan peraturan pemerintah dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
- Tahap penataan aturan secara konsisten ( rule consistent behavior ) Ditandai dengan pemghormatan dan pemajuan HAM dengan dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya sejumlah konvensi HAM. Selain itu juga dirancangkan program “Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM)” pada tanggal 15 Agustus 1998 yang didasarkan kepada :
- Persiapan pengesahan perangkat Internasional di bidang HAM
- Desiminasi informasi dan pendidikan tentang HAM 3. Penentuan skala prioritas pelaksanaan HAM 4. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah diratifikasikan melalui perundang-undangan nasional. Untuk lebih melindungi HAM di Indonesia, pemerintah telah membuat UU HAM No. 39 tahun 1999 serta UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Melalui keputusan Presiden No. 40 tahun 2004, Pemerintah telah mengesahlan RANHAM kedua diamana merupakan kelanjutan RANHAM Indonesia yang pertama tahun 1998-2003. RANHAM disusun untuk menjamin peningkatan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM di Indinesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan budaya bangsa indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
HAM
adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap
individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu
kita ingat bahwa jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain. Dalam
kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI,
dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang,
kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam
pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui
hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan
HAM. Sementara menyangkut Kasus Marsinah yang merupakan dikategorikan sebagai
pelanggaran HAM berat, karena merupakan kasus penghilangan seseorang secara
paksa. Marsinah adalah tumbal dari apa yang namanya penindasan atas nama stabilitas
keamanan dan politik pada zaman Orde Baru. Penindasan kepada Marsinah adalah
bentuk ketakutan negara pada sosok-sosok yang berani berjuang dan mengobarkan
semangat kebebasan, kesejahteraan dan kesetaraan. Negara menciptakan teror
ketakutan kepada siapa saja yang ingin melakukan aksi perlawanan. Negara juga
telah mengabaikan kasus ini, membiarkannya menjadi misteri yang tak terpecahkan
selama bertahun-bertahun. Ini jelas sebuah anomali dan paradoks jika kita
komparasikan dengan tujuan pembentukan dan kewajiban negara ini. Marsinah
hanyalah satu dari ribuan potret buruh perempuan di Indonesia yang seringkali
harus dihadapkan dengan berbagai persoalan pelik yang mendasar. persoalan
kesejahteraan, kekerasan,eksploitasi dan diskriminasi seolah terus menjadi pekerjaan
rumah yang menumpuk bagi pemerintah untuk diselesaikan. Realitas kekinian
memperlihatkan bahwa sampai hari ini begitu banyak buruh perempuan di Indonesia
yang masih ambil bagian dalam rangka pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Menguak
kasus Marsinah berarti harus mengurai banyak benang kusut, benang kusut yang
mungkin hanya dapat terurai dari tangan mereka yang benar-benar peduli untuk
mengurainya.
3.2
Saran
Sebagai
makhluk sosial kita selayaknya mampu mempertahankan dan memperjuangkan hak kita
sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga hak orang
lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM
kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain. Sudah saatnya pemerintah
membuka mata lebar-lebar akan kasus Marsinah dan kasus-kasus yang dialami oleh
buruh saat ini. Pemerintah sebaiknya berani membuka ulang kasus Marsinah atas
nama demokrasi dan HAM. Hilang dan matinya Marsinah sudah barang tentu adalah
sesuatu yang “direkayasa” sehingga sampai saat ini kasusnya tidak pernah
menemui titik terang. Padahal keadilan yang tertinggi adalah keadilan terhadap
Hak Asasi Manusia.
SUMBER : https://xpectancy.wordpress.com/2014/09/11/makalah-kasus-pelanggaran-ham-di-indonesia-marsinah/aa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar